Sejak hari baralek, marapulai di Saniangbaka sudah terikat dengan adat baralek. Pelepasannya dari rumah orang tuanya dilakukan secara adat dengan memakai baju gadang. Untuk melepaskan keterikatannya harus dilakukan dengan adat juga, yang dinamakan dengan. Mangabek bali. Setelah itu marapulai baru boleh menaggalkan pakaian adat, menggantinya dengan pakaian sehari-hari.
Maksud dan Tujuan
Tujuannya adalah untuk melepaskan baju gadang (kebesaran) marapulai, yang menandakan selesainya tradisi adat baralek yang harus dijalaninya.
Pelaksanaann
Pulang pagi biasanya dilaksanakan pada hari ketiga setelah hari baralek. Tradisi ini sebagai tanda bahwasanya marapulai sudah bisa pulang atau keluar dari rumah istrinya pada pagi hari. Tidak lagi subuh hari sebagaimana yang dilakukan pada hari-hari sebelumnya. Pada zaman dulu dilakukan sekitar dua hari setelah manjalang rumah sumandan atau seminggu setelah baralek.
Pulang pagi menandakan bahwasanya marapulai tidak lagi terikat dengan tradisi adat baralek, terutama dalam hal berpakaian adat. Hal ini dilakukan jika sudah ada isyarat atau permintaan dari keluarga anak daro. Sebagaimana dijelaskan pada tradisi Manjapuik marapulai siang hari. Setelah hari baralek, marapulai selalu turun dari rumah istrinya sebelum/setelah shalat subuh. Marapulai mandi dan mengganti pakaian masih di rumah orang tuanya. Sampai ada isyarat dari keluarga anak daro untuk menawarkan kepada marapulai untuk mandi di rumah saja.
Sebagai pertanda pulang pagi, marapulai harus membawa buah tangan ke rumah anak daro, berupa goreng pisang. Pada hari pertama jumlahnya dua belas buah, kali kedua delapan buah, dan diakhiri dengan menenteng ikan dari buah balai. Harinya harus berselang/tidak berurutan. Pulang pagi, merupakan penanda selesainya tradisi adat baralek di Saniangbaka pada zaman sekarang.
Makna dan Sejarah
Dalam tradisi pulang pagi, marapulai diharuskan membawa buah tangan berupa goreng pisang selama dua kali pagi, dan ikan sekali, dengan jumlah yang ditentukan. Tidak boleh pula dibawa secara berturut-turut, harinya harus diselang-seling.
Setelah penulis coba tanyakan kepada tokoh-tokoh adat yang ada di Saniangbaka, tidak ada seorangpun yang mengetahui kenapa makanan yang dihantarkan harus ditentukan jenis dan jumlahnya. Semuanya mengatakan bahwasanya kita hanya menjalankan warisan adat dari nenek moyang terdahulu.
Birik-birik turun kasamak
Dari samak tabang ka halaman
Dari ninik turun ka mamak
Dari mamak turun ka kamanakan
Maknanya adalah, mereka hanya menjalani tradisi secara turun temurun yang diturunkan dari nenek moyang terdahulu. Begitu juga dengan referensi tertulis, tidak ada satupun yang ditemukan membahas terkait dengan makna dibalik tradisi tersebut.
Bagaimanapun juga nenek moyang Minangkabau dalam membuat segala kebijakan tentu atas kesepakatan bersama. Pasti ada maksud dan tujuan, serta makna dibalik itu. Bak kata pepatah:
Niniak moyang di duo koto,
mambuek barih jo balabeh,
Bulek dek tuah lah sakato,
nak tantu hinggo jo bateh.
Maksudnya nenek moyang terdahulu membuat batas dan aturan atas dasar musyawarah dan kesepakatan bersama, supaya masyarakat mempunyai pedoman dalam menjalani kehidupan.
Sebenarnya menurut penuturan Akhyar Rangkayo Batuah, tradisi adat baralek zaman dahulu di Saniangbaka masih berlangsung selama setahun. Setiap hari baik bulan baik, marapulai harus menjalani tradisi adat, seperti: hari Maulud Nabi Muhammad S.A.W., alek hari mamagang (sehari sebelum ramadhan), Hari Raya Idul Adha (hari rayo aji), dimana berlaku adat kunjung mengunjungi antar keluarga basumandan. Marapulai juga mambawa hantaran (manjinjiang) ke rumah anak daro. Sedangkan keluarga anak daro mengantarkan lamang ke rumah marapulai.