Merupakan prosesi adat di rumah marapulai, yang dilakukan setelah 2 orang paja kenek datang menjemput.
Maksud dan Tujuan
Tujuannya adalah untuk mempersiapkan proses pelepasan marapulai secara adat, dan memberinya gelar sako yang diwariskan dari ninik mamak-nya, karena setiap laki-laki yang sudah menikah di Minangkabau diberi gelar adat, diistilahkan dengan ketek banamo gadang bagala.
Pelaksanaan
Ada beberapa tahapan yang dilalui dalam tradisi malapeh marapulai, yaitu:
Mengumpulkan urang salapan suku
Setelah paja kenek datang menjemput marapulai, ninik mamak segera menugaskan anak kemenakannya untuk menjemput urang salapan suku, yang secara adat akan bertugas mengantarkan marapulai. Tidak boleh sembarang orang. Ada syaratnya, jika marapulai bersuku Sumpadang, urang salapan suku yang diundang terdiri dari: manti suku Sumpadang, sumando baru di suku Sumpadang (utamakan yang saparuik/sakaum), satu orang dari buah balai (lihat sub menu buah balai), satu orang dari suku nan bajurai, dan satu orang dari suku lain.
2. Makan minum
Upacara malapeh marapulai dimulai setelah urang salapan suku cukup jumlahnya. Diawali dengan pasambahan (percakapan adat), dengan memudikkan sirih sebagai pembuka kata, kemudian dilanjutkan dengan makan dan minum, yang juga diawali dengan pasambahan. Dalam hal ini marapulai belum dilibatkan/berada di luar rumah. Jamuan dihidangkan oleh janang, dan menunya dihidangkan harus sesuai dengan ketentuan adat, yang terdiri dari:
Dulang tinggi sebanyak 5 buah, sebagai tempat makanan, yang berisi bubur pulut, dan pisang yang diletakkan di dalam piring. Dulang tinggi harus dilengkapi dengan tirai (kain alas), dan saok aia yang dilengkapi dengan dalamak (kain penutup).
Dulang randah sebanyak 5 buah, juga sebagai tempat makanan yang berisi bubur ketan, dan pisang, tetapi wadah bubur ketannya menggunakan limeh (daun pisang berbentuk cerocok). Tapi sekarang sudah diganti dengan gelas plastik.
Satu buah carano yang berisi sirih langkok yang terdiri dari: daun siriah (daun sirih yang bersusun), pinang nan ka diuleh (pinang yang akan dipoong seulas), gambia nan ka dipipia (gambir yang akan dipipil), sadah nan ka dipalik (kapur yang akan dicercak ke ujung jari), timbakau nan ka diujuik (tembakau yang akan ditarik secara lembut), siriah sakapua (sekapur sirih) yang menjadi pembuka kata untuk memulai prosesi adat malapeh marapulai (Dahliarnis 2019).
3. Pemasangan baju gadang
Setelah menikmati hidangan yang sudah tersaji di dalam dulang, kemudian dimulailah proses pelepasan yang diistilahkan dengan maantaan ayam (mengantar ayam). Ninik mamak diminta memanggil marapulai untuk naik ke atas rumah. Setelah itu marapulai akan dipakaikan baju gadang, pakaian kebesaran penghulu, oleh salah seorang urang salapan suku. Pakaian yang dipakai pada saat maantaan marapulai sedikit berbeda dengan yang dipakai pada siang hari. Perbedaannya terletak pada:
Baju gadang yang dipakai saat maantaan marapulai sedikit lebih dalam dibandingkan dengan baju siang hari.
Saat maantaan marapulai, diatas kepala dipasang ikek (Gambar 21), sedangkan pada siang hari memakai deta (lihat Gambar 29).
Selanjutnya marapulai minta izin dan restu kepada orang tuanya untuk berangkat dan tinggal di rumah istrinya. Momen ini sangat mengharukan bagi keluarga, karena laki-laki di Minangkabau setelah menikah akan tinggal dan menetap di rumah istrinya. Setelah itu marapulai disuruh duduk di atas kasur talakat, kasur kecil yang diletakkan ditempat kira-kira setinggi ½ meter, di ujung rumah, persisnya di depan kamar marapulai. Pada saat duduk kaki kanan, disilangkan di atas kaki kiri.
Saat itu marapulai diibaratkan ayam yang sudah bertaji, dan siap untuk disabung di gelanggang. Selanjutnya dibagikanlah taruhan untuk orang yang akan membawa ayam ke galanggang, yaitu uang adat oleh sipangka kepada urang salapan suku. Setelah itu barulah dimulai pasambahan untuk pelepasan marapulai, sekaligus pemberian gelar adat.
4. Ma-asok Kumayan (asap kemenyan)
Sebelum turun dari rumah gadang/diantarkan ke rumah anak daro, marapulai diasapi terlebih terlebih dahulu. Diistilahkan dengan dilapeh dek asok kumayan (dilepas dengan asap kemenyan). Kumayan diletakkan di atas piring, dan dibakar. Setelah berasap oleh ibu kandung, kalau masih hidup, atau kakak kandung perempuan, bisa juga saudara perempuan ibu, piring tadi dipegang dan diputarkan mengelilingi tubuh marapulai mulai dari kaki sampai ke kepala. Ritual ini diiringi dengan do’a oleh ibu kepada anaknya, supaya langgeng dalam membina rumah tangga.
5. Pemberian gelar adat
Ketek banamo, gadang bagala. Setiap laki-laki yang sudah menikah di Minangkabau diberi gelar adat, yang merupakan gelar pusaka kaumnya, turunan atau diambil dari ninik mamaknya yang sudah meninggal. Gelar itulah yang akan menjadi panggilannya di tangah balai.
Pemilihan gelar oleh mamak tidak bisa dilakukan sembarangan. Mamak terlebih dahulu melihat kecocokan karakter dari kemenakannya dengan orang yang akan diambil gelarnya.
Contoh gelar adat di Saniangbaka adalah: gindo sutan, gindo rajo, sutan pangeran, sutan basa, panduko sutan, rajo mudo, rajo basa, rangkayo mulia, dan lain sebagainya.
Setelah gelar disematkan oleh mamak-nya, maka setiap laki-laki yang hadir akan memanggil marapulai dengan gelar adatnya. Setelah itu barulah marapulai diarak ke rumah anak daro.
6. Pengantaran marapulai
Sebelum berangkat, paja ketek terlebih dahulu disuruh berangkat membawa sirih langkok yang disimpan di dalam rajuik (kantong), serta dibungkus pakai sapu tangan lebar untuk mengabarkan bahwasanya marapulai akan segera datang.
Selain urang salapan suku, pengantaran marapulai juga diiringi oleh karib kerabat, serta urang
sumando nan sakaum, dan urang sumandan sakuliliang. Kok lupo batabiak-an, takalok bajagoan (jika lupa diingatkan, tertidur dibangunkan).
Kain pambali, yang sebelumnya sudah diantarkan oleh induk bako, sebagai kewajiban marapulai ikut
dibawa serta, dilengkapi dengan pakaian marapulai, ditambah dengan buah tangan menurut adat, yaitu: beras, pisang, dan jagung. Semuanya diletakkan di dalam saok aia, yang dijunjung oleh ibu-ibu.
Sebelum berangkat marapulai sebenarnya sudah diajarkan tentang tata tertib di rumah anak daro,
perihal duduk, makan minum, waktu tidur dan bangun, sebagai tanda kita orang beradat oleh ninik mamak. Sebagai pengingat, selama dalam perjalan urang salapan suku tidak lupo mengingatkan kembali marapulai perihal tersebut. Bak pepatah adat:
Dek karano lupo maingek-an,
badabuk nan dibawah, nan diateh ditimpoe
indak batunuk baajaan.
Karena lupa mengingatkan, ketika kemenakan khilaf, ninik mamak yang disalahkan. Dianggap tidak mendidik kemenakan.
Makna dan Sejarah
Maantaan marapulai merupakan tradisi adat yang paling panjang dan komplek dari seluruh rangkaian alek perkawinan di Saniangbaka. Setiap tahapan mengandung makna dan nilai kearifan lokal. Berikut dijelaskan beberapa hasil temuan penulis berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang tokoh adat Saniangbaka:
Waktu mengantar marapulai
Di Saniangbaka marapulai diantar ke rumah anak daro pada malam hari, setelah jam 9 malam. Menurut Dartukni Mandi Panduko Rajo, hal ini dilakukan karena baju yang dipakai oleh marapulai merupakan pinjaman dari penghulu/datuk. Untuk menghormatinya sebagai pemimpin suku/kaum, makanya pakaian tersebut dipakaikan pada malam hari, menunggu penghulu tidur terlebih dahulu.
Maasok kumayan
Tradisi bakar kemenyan merupakan warisan leluhur terdahulu yang banyak diterapkan dalam upacara perhelatan di berbagai daerah di Indonesia, seperti baralek, upacara kematian, dan lain sebagainya. Tujuan bermacam-macam, seperti meminta keselamatan, menjauhkan dari gangguan setan, meminta kesejahteraan, dan perantara do’a. (Septiani 2019; Yuliana 2020). Sepertinya tujuan tersebut juga berlaku pada tradisi maasok kumayan di Saniangbaka, mengutip pernyataan salah seorang tokoh adat, Anwar Manti Gindo Sutan:
“Amak marapulai katiko maasok kumayan baniat supayo anaknyo sehat dan panjang juo umuanyo, babari juo rasakinyo, jaan sampai bacarai dek bininyo, cukuik lah sakali ko manikah.”
Maksudnya ibu marapulai berniat supaya anaknya sehat selalu dan panjang umur, murah rezekinya, dan jangan sampai bercerai, cukup sekali ini saja menikah.
Pemasangan keris
Baju gadang yang dipakai oleh marapulai merupakan pinjaman dari penghulu, yang dilengkapi dengan keris. Untuk membedakan antara penghulu dengan marapulai pada saat memakai baju gadang, bisa dilihat dari cara pemasangan kerisnya. Penghulu keris yang disisipkan di pinggangnya condong ke kanan, sedangkan marapulai condong ke kiri.
Pemberian gala sako
Setiap laki-laki di Minangkabau, setelah menikah diberi gelar sako atau pusaka yang wariskan secara turun temurun. Hal tersebut tergambar dalam pasambahan yang dilakukan pada saat upacara adat sebelum mengantarkan marapulai pergi ke rumah anak daro di Saniangbaka. Berikut salah satu kalimat pasambahan dalam memberikan gala sako pada saat manjapuik marapulai.
Sungguh juo Manti Gindo Sutan nan tua ka kami imbau
tampek basamo juolah kami mamintak maaf
Apo nan kajadi pasambahan dek kami
silang nan bapangka karajo nan bapokok
Jo warih kito jawek,
pusako kito tarimo,
dari ninik turun ka mamak,
dari mamak ka kamanakan.
Artinyo baliau ka bajalan sampai ka bateh,
balayia sampai ka pulau
kandak bulih pintak balaku,
tantang sanak kamanakan kami.
Ketek dibaduang kain,
gadang dibaduan adat,
manuruik adat minangkabau,
artinyo urang minang lai samo kasadonyo,
dek kami silang nan bapangka karajo nan bapokok.
Namo ketek beliau si fulan bagala rajo sutan
dicabik laweh dikambang leba,
diimbauan di surau jo musajik,
kok duduk samo randah tagak samo tinggi.
Dulang tinggi & dulang randah
Dulang merupakan salah satu peralatan yang dibutuhkan sebagai wadah makanan dalam berbagai upacara adat di Minangkabau. Pada saat manjapuik marapulai di Saniangbaka dulang digunakan sebagai wadah nasi lamak (bubur pulut) dan pisang. Dulang tinggi digunakan untuk tempat jamuan urang salapan suku. Dilengkapi dengan aleh dulang, dan ditutup dengan saok aia, yang juga ditutup menggunakan kain, yang dinamakan dengan Dalamak.
Sedangkan dulang randah, juga digunakan untuk tempat nasi lamak, dan pisang, tetapi diwadahi nasi lamaknya tidak diletakkan di atas piring, melainkan di dalam limeh. Sajian di dalam dulang randah ini tidak untuk dimakan pada saat itu, tetapi untuk dibawa pulang oleh urang salapan suku.
Makna kaki disilang
Pada saat duduk di atas kasur talakat, yang letaknya sedikit lebih tinggi, marapulai diminta menyilangkan kakinya dengan meletakkan tungkai kaki kanan di atas kaki kiri. Hal ini bertujuan untuk menghargai para tamu yang duduk di lantai, terutama para pemuka adat.
Uang adat/sadakah
Istilah uang adat disematkan untuk amplop yang diberikan kepada pelaku adat yang terlibat dalam upacara adat. Pada saat pelepasan marapulai, uang adat diberikan hanya untuk urang salapan suku. Permintaan uang adat disampaikan dengan kiasan.
Dahulu orang salapan suku yang diundang pada saat maantaan marapulai jumlahnya memang harus delapan. Tapi sekarang atas kesepakatan Kerapatan Adat Nagari (KAN) jumlahnya dikurangi menjadi lima. Menurut Akhyar Rangkayo Batuah, pengurangan jumlah tersebut dikarenakan jumlah orang yang mengerti adat semakin berkurang, dan juga untuk menghemat biaya yang dikeluarkan oleh sipangka.
Kedatangan mereka dulu dijemput oleh ninik mamak, dengan mengutus anak kemenakannya. Tapi sekarang sudah diperlonggar, cukup ditunggu di buah balai oleh tuan manti sipangka.
Sedangkan untuk makanan yang disajikan, pada awal mulanya adalah bubua (nasi lamak) dengan tapai, kemudian dirubah menjadi bubua dan samba gulai cubadak, hingga sekarang berganti dengan bubua dan pisang.
Tradisi maasok kumayan saat ini sudah tidak dilakukan lagi. Sebagian orang menganggap tradisi tersebut bertentangan dengan norma agama islam.