Tidak hanya kawin dengan orang kampung, lebih dari itu, kecenderungan masyarakat di Saniangbaka menjodohkan anak dengan karib kerabatnya. Mereka mengistilahkan dengan kuah tatunggang ka nasi, (kuah tertumpah ke nasi). Keberhasilan, kekayaan, atau kesuksesan anaknya lebih baik dinikmati oleh keluarga dekatnya sendiri.
Makanya lahir istilah pulang kabako, dan manabang anak pisang.
Pulang ka bako, maksudnya adalah laki-laki yang menikahi kemenakan ayahnya, atau anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya, baik saudara kandung maupun saudara sepupu.
Manabang anak pisang, maksudnya adalah laki-laki yang menikahi anak perempuan mamaknya, atau anak dari saudara laki-laki ibunya, baik saudara kandung maupun saudara sepupu.
Sebenarnya tradisi pulang kabako ini tidak hanya terjadi di Saniangbaka. Di nagari lain di Minangkabau juga banyak dilakukan orang. Hal ini ditunjukkan dengan dijadikannya cerita tentang pernikahan pulang ka bako menjadi lirik lagu minang oleh Ujang Virgo, dalam hal ini saya mengutip penggalan liriknya yang berbunyi:
Kok pulang ka bako ondeh seronyo
Bapitih ndak ado bahidangkan juo
Kok carai di sabuik kok talak di buek
Putuihlah banang putuih kulindam
Artinya, senangnya kalau laki-laki pulang ka bako, walaupun tidak punya uang, makannya tetap dihidangkan oleh keluarga istrinya. Adat di Minangkabau, kalau semenda makan di rumah istrinya, makanan dihidangkan terlebih dahulu, sebagai tanda penghormatan.
Sebaliknya kalau terjadi perceraian, dampaknya bisa mengakibatkan putusnya hubungan kekerabatan. Tidak hanya sebatas suami istri, bahkan bisa menimbulkan retaknya hubungan persaudaraan yang bertalian darah.