“Amak indak rela waang lapeh kalua, sabalun babini waang dek urang lua, langkahi mayat amak terlebih dahulu.” (ibu tidak rela kalau kamu lepas keluar, sebelum memperistri orang luar, langkahi dulu mayat ibu). Kalimat tersebut sering diucapkan oleh orang tua terhadap anak laki-lakinya yang ingin menikahi gadis yang bukan berasal dari nagari Saniangbaka. Walaupun secara adat tidak diatur, tetapi sudah menjadi tradisi sejak dahulu orang tua di Saniangbaka tidak mau menikahkan anaknya dengan dari luar kampung. Pantangan tersebut umumnya ditujukan untuk anak laki-laki. Orang tua, terutama ibu, sangat khawatir nanti anaknya akan jarang menjenguknya jika menikah dengan perempuan dari daerah lain.
Dalam hal masalah perkawinan orang Saniangbaka lebih tertutup. Hal ini tercermin dari bangunan balai adatnya. Pada dinding bahagian muka dan belakangnya berdinding penuh. Sedangkan balai adat nagari lain, dinding depan dan belakangnya berjarajak terbuka. Maknanya adalah: menurut adat salingka nagari, orang Saniangbaka tidak dibenarkan kawin dengan orang luar nagari Saniangbaka. Diistilahkan dengan:
mamaga karambia condong,
batangnya kita yang menanam,
buahnya jatuh ke tanah orang lain.
Hal ini berlangsung hingga zaman bagolak (pergolakan) sekitar tahun 50-an. (Kabupaten Solok 2019).
Selain itu mereka juga khawatir, setelah tua nanti, pada saat tidak sanggup lagi mencari nafkah, anaknya akan dibuang oleh keluarga istrinya. Hal ini bukan tanpa alasan, sudah cukup banyak pengalaman, anak laki-laki tidak pernah lagi menjenguk orang tuanya setelah menikahi perempuan dari daerah lain, atau ketika sudah tua dan sakit-sakitan, bukannya dirawat justru malah diantarkan pulang oleh istrinya.
Sedangkan jika menikah dengan orang sekampung, walupun jauh merantau di negeri orang, pada saat pulang kampung, walaupun pulang ke rumah istrinya, tentulah masih tampak jua oleh orang tuanya. Makanya sudah jadi rahasia umum, bahwasanya mayoritas masyarakat di Saniangbaka menikah dengan orang sekampung, termasuk penulis sendiri.