Pemimpin suku atau datuk merupakan Ninik mamak di kaumnya. Hal tidak hanya berlaku di Saniangbaka, tapi di Minangkabau pada umumnya. Mereka merupakan pemegang sako secara turun temurun berdasarkan garis keturunan ibu (sistem matrilineal), pemimpin secara adat bagi kaumnya. Oleh karena itu seorang datuk harus mengetahui dan mengerti serta memahami tentang nilai-nilai dan aturan adat yang berlaku, baik adat nan sabana adat, adat istiadat, adat nan diadatkan, serta adat nan taradat. Layaknya ulama yang juga harus paham akan nilai-nilai agama. Rapat Besar Marapekkan Alam/Sakato Alam yang disebut dengan Sumpah Satie Marapalam di Bukik Marapalam atau Puncak Pato Kab. Tanah Datar menegaskan bahwa:
Penghulu adalah Raja dalam Negara,
katonyo didanga, pangajarannyo di turuti,
maanjuang jauh, manggantuang tinggi”.
Artinya penghulu adalah pemimpin dalam suku, katanya didengarkan, petunjuknya diikuti, dan menjatuhkan hukuman serta memberikan penghargaan. Seorang ninik mamak, dituntut punya kepedulian tinggi terhadap anak kemanakannya. Sesuai dengan pepatah:
Kalauk paku kacang balimbiang
timpuruang lengang-lenggangkan
anak dipangku kamanakan dibimbiang
urang kampuang dipatenggangkan.
Dalam artian yang luas, ninik mamak terdiri dari: tungganai rumah, kapalo warih, cadik pandai, urang tuo suku, dubalang adat, kakak urang mangaji, manti, tuan pandito, dan malin adat dengan penghulu sebagai pemimpinnya.
Mereka menjadi ninik mamak bagi kaum di sukunya. Di Saniangbaka merekalah yang menjadi penyelenggara baik buruk yang diselenggarakan di tengah kaumnya, baik alek perkawinan, turun mandi, batagak penghulu, dan manaik-an rumah, termasuk upacara kematian.
Ada juga ninik mamak yang diistilahkan dengan mamak rumah, yaitu: saudara laki-laki ibu, atau saudara laki-laki nenek, baik samande, sajurai, ataupun saparuik dalam lingkup serumah gadang. Pemimpinnya dinamakan dengan tungganai rumah.