Dalam bahasa minang, arti kata samba adalah lauk-pauk. Sedangkan sambal/cabe disebut dengan lado. Yang dimaksud tradisi masak memasak dalam alek perkawinan di Saniangbaka adalah memasak samba gulai cubadak (nangka muda) yang digulai menggunakan santan, dan dicampur daging atau tulang rawan, serta di beri bumbu khusus yang dinamakan dengan ambu-ambu. Kegiatan ini dilaksanakan di sekitar tempat baralek, disertai dengan makan pagi secara bersama-sama, setelah gulai cubadak selesai dimasak.
Maksud dan Tujuan
Masak memasak bertujuan untuk membuat samba gulai cubadak, menu yang akan dihidangkan kepada setiap tamu yang datang, dari pagi sampai malam hari. Kaum sapasukuan secara bersama-sama membantu menyiapkan bahan, bumbu, dan memasak untuk membantu meringankan beban pekerjaan sipangka (tuan rumah).
Pelaksanaan
Kegiatan masak memasak dimulai sejak pagi hari. Lokasi tempat memasak disekitar tempat baralek, yang dinamakan dengan kancah, merupakan kuali besar yang dijadikan sebagai wadah tempat memasak gulai cubadak.
Di lokasi tempat memasak dibuat beberapa buah lobang memanjang, yang dibuat secara berbaris dengan jarak tertentu, yang dinamakan lobang kancah. Jumlah lobang sesuai dengan jumlah kancah yang akan dipakai untuk memasak. Semakin besar aleknya, maka semakin banyak pula gulai cubadak yang dimasak, tentu saja jumlah kancah yang dipakai akan semakin banyak. Kancah dibuat dalam bentuk pondok sederhana yang dipasangi atap seng untuk melindungi dari hujan. Lebarnya disesuaikan dengan jumlah lubang yang dipakai. Untuk mengaduk masakan digunakan pelepah daun kelapa.
Pelaksana masak memasak adalah orang dalam sapasukuan. Kecuali untuk baralek gadang, yang menyembelih sapi, dibantu oleh suku jurai. Tamu yang datang sebenarnya juga hanya dari kaum sapasukuan. Mereka datang untuk membantu memasak.
Ibu-ibu membantu menyiapkan bahan yang akan dimasak, seperti memeras santan kelapa, mengupas bawang, dan mengupas nangka muda serta memotongnya menjadi ukuran kecil, yang menjadi bahan inti dari masakan. Bumbunya sudah dibuat pada saat mambuek ambu-ambu. Sedangkan tugas memasak nasi dan gulai cubadak di kancah dilakukan oleh ninik mamak/laki-laki.
Di Saniangbaka hanya laki-laki yang ahli dalam membuat gulai cubadak mereka dinamakan dengan tukang masak. Biasanya tukang masak diminta untuk memasak pada saat baralek di sukunya masing-masing. Jumlah orang yang ahli memasak gulai cubadak jumlahnya tidak banyak, terkadang dibantu oleh tukang masak dari suku lain.
Setelah gulai cubadak selesai di masak, ninik mamak beserta tamu yang hadir makan di atas rumah dnegan hidangan yang telah disediakan. Mereka makan dengan aturan adat. Penghulu ditinggikan seranting dengan gelas yang bertadah (sebagai bentuk penghargaan terhadap penghulu, gelas minumnya diberi alas). Makan minum dengan pasambahan sederhana. Sedangkan anak kemenakan yang bertugas masak memasak, telah menjadi kebiasaan pula makan bersama memakai talam di sekitar kancah.
Makna dan Sejarah
Kegiatan masak-memasak ini dilakukan secara bergotong royong oleh keluarga dan karib kerabat silang nan bapangka (sipangka) di hari baralek. Dalam hal ini dinamakan dengan orang sapasukuan. Mereka secara bersama-sama membantu meringankan tugas karib kerabatnya dalam menyelenggarakan alek perkawinan. Proses ini sebenarnya sudah dimulai sejak beberapa hari sebelum baralek. Diawali dengan mencari kayu bakar, dan cubadak (nangka) di hutan yang ada di sekitar nagari Saniangbaka. Kemudian membuat dan menggali lubang kancah, mambuek ambu-ambu, menyiapkan berbagai perlengkapan untuk masak-memasak. Orang sapasukuan saling bahu-membahu dalam menyelenggarakan setiap alek perkawinan di kaumnya masing-masing. Merupakan implementasi dari falsafah barek samo dipikua ringan samo dijinjiang.
Sebenarnya pada zaman dahulu para tetua Saniangbaka sudah merancang bagaimana cara menghemat biaya alek perkawinan seminimal mungkin. Inti dari masakan yang dihidangkan untuk tamu baralek hanya satu saja, yaitu samba gulai cubadak.
Tujuannya supaya alek perkawinan di Saniangbaka tidak memberatkan bagi tuan rumah. dalam hal tugas penyelenggaraan alek diserahkan kepada orang sapasukuan.
Bahan untuk masak-memasak, sebagian bisa diperoleh dari hutan sekitar, seperti kayu bakar, nangka muda, dan kelapa. Kelapa ada juga yang diantarkan oleh induk bako pada saat maantaan nasi pamanggia. Bumbu untuk memasak sebelumnya sudah dibuat orang sapasukuan pada saat mambuek ambu-ambu.
Menurut penuturan Dartukni Mandi Panduko Rajo: “Sebelum tahun enam puluhan masakan yang dibuat berupa tapai dan bubur ketan (nasi lamak), yang bahan dasarnya beras ketan. Karena pada tahun-tahun itu mulai dilaksanakan turun ke sawah dua kali setahun, sedangkan umur dari padi pulut itu panjang, maka sudah mulai jarang orang menanam padi pulut, sehingga sulit didapat. Atas dasar itulah Kerapatan Adat Nagari mengganti dengan makanan nasi, yang lauknya hanya gulai cubadak semacam saja agar tidak memberatkan bagi silang nan bapangka (sipangka).”
Pada saat masak-memasak, sebenarnya tamu yang datang hanya dari orang sapasukuan, atau karib kerabat terdekat sipangka saja. Tetapi sekarang yang kita saksikan telah bercampur baur. Tamu lain yang waktunya sebenarnya telah ditentukan yakni sesudah sholat maghrib, yang disebut dengan alek kenduri, justru saat ini banyak yang datang pagi hari saat masak-memasak.
Masakan atau samba yang dibuat-pun saat ini tidak hanya satu macam saja, tetapi sudah banyak tambahan dengan menu lain. Entah siapa yang memulai, dan kapan dimulainya, tidak ada yang tau. Jika sipangka mempunyai kesanggupan tidak ada masalah, karena adat makan minum bukan termasuk dalam aturan adat yang tidak bisa dirobah. Mungkin seiring dengan meningkatnya perekonomian masyarakat, tentu sipangka ingin memberikan layanan lebih terhadap tamu yang datang.
Artinya, terkait dengan masak-memasak sebenarnya telah diatur oleh adat, agar tidak memberatkan sipangka. Tetapi pada prakteknya terkadang masyarakat mengabaikannya, dan menambah-nambahnya tanpa persetujuan ninik mamak. Bak kata pepatah: jalan lah dialih dek urang lalu. (aturan dirubah tanpa persetujuan pemuka adat).