Yang dimaksud dengan manyiriah adalah memberi tahu karib kerabat, handai tolan, bahwasanya kita akan mengadakan alek perkawinan. Sesuai dengan namanya manyiriah dilakukan dengan membawa sirih langkok yang terdiri dari: daun sirih yang dilengkapi dengan buah pinang, gambir, dan sadah (kapur sirih).
Tujuan manyiriah adalah memberitahukan karib kerabat dan handai tolan yang diistilahkan dengan:
Suyuak nan bagisia
halaman nan salalu,
nan basinggung nan bageduih
elok baimbauan,
buruk baambauan.
Yang dimaksud dengan suyuak nan bagisia adalah, tetangga sebelah rumah, yang atapnya bersisian atau berdampingan dengan rumah kita. Halaman nan salalu adalah orang-orang yang biasa lalu lalang di depan rumah kita menuju ke buah balai. Diistilahkan dengan kabar baik dihimbaukan, dan kabar buruk berdatangan walaupun tanpa pemberitahuan.
Pada zaman dahulu manyiriah dilakukan sekitar seminggu sebelum hari baralek diselenggarakan. Orang yang melaksanakan pekerjaan ini dari keluarga anak daro atau marapulai yang ditemani oleh orang sapasukuannya,
Yang bijak mengenalkan dan dikenal
orang yang didatangi agak berumur,
tuo tangguang, gadih talampau.
Orang yang bijak dan dikenal oleh banyak orang. Yang didatangi adalah orang yang agak berumur atau sudah berumah tangga. Manyirih dilakukan dengan membawa kampia sirih (lihat Gambar 8), media berupa dompet yang cukup besar, berisi sirih lengkap, yang terdiri dari: daun sirih, buah pinang, gambir, dan sadah (kapur sirih). Sirih ditinggalkan sekapur di setiap rumah yang dikunjungi.
Terhadap karib dekat yang laki-laki, disampaikan oleh ninik mamak atau orang pasukuan yang telah berumah tangga dengan cara mempersirihkan rokok dalam nipah, dilanjutkan menyampaikan maksud.
Menurut Dartukni Mandi Panduko Rajo, pada masa saisuk kalimat menyiriah babunyi :
“Alah tasuruh pulo amba dek ninik mamak suku menyampaikan tantang pakarajaan anak si anu patang itu malam itu bertepatan dengan bilangan bulan arab, iyo mintak dihadiri dek angku/bapak. Mako dijawabnyo dengan Insya Allah.”
Adat bapakai cupak tatagak baisi, orang yang menjalankan pekerjaan manyiriah dahulu diberikan uang adat sekedarnya.
Pada zaman dahulu sirih merupakan media komunikasi yang ampuh sebagai pembuka kata yang dilakukan oleh orang yang manyiriah kepada orang yang disiriah. Manyiriah merupakan sebuah bentuk penghargaan yang diberikan oleh pihak tuan rumah kepada orang yang diundang. Makna sirih melebihi surat undangan yang biasa digunakan oleh orang zaman sekarang.
Dibalik tradisi manyirih sebenarnya tersirat maksud tertentu. Biasanya orang yang disiriah akan datang membawa paantaan bareh, atau diistilahkan dengan kado, pada hari baralek. Sebagian dari mereka diharapkan memberikan paantaan bareh lebih dari biasanya, terutama bagi mereka yang berada.
Manyirih tidak mungkin dilaksanakan manuruik adat lamo pusako usang. Masyarakat sekarang tidak ada lagi yang pasiriah. Bagi kaum laki-laki siriah diganti dengan permen atau sebatang rokok.
Bagi pihak perempuan kalimat yang disampaikan dalam manyiriah pada saat berkunjung ke rumah masing-masing menggunakan istilah kato bayang, barisuk mambubua di rumah anak daro ataupun marapulai. Itupun disampaikan sambil lalu, atau hanya di depan rumah, tanpa masuk dan duduk terlebih dahulu, layaknya tamu. Waktunya tidak lagi seminggu sebelum baralek, tapi cukup sehari sebelum hari baralek, dan tanpa meninggalkan apa-apa. Bahkan ada pula yang menggantikannya dengan undangan.
Dahulu selain manyiriah, sebagai tanda di rumah kaum itu baralek, dan untuk menyemarakkan alek biasanya sejak seminggu sebelum hari baralek, digua talempong. Tetapi hal semacam itu tidak ada lagi dilakukan sekarang, diganti dengan orgen tunggal, atau pergelaran musik jaman sekarang.