Suku merupakan basis dari masyarakat Minangkabau. Ragam suku yang ada saat ini pada mulanya berasal dari dua suku, yaitu Koto Piliang, dan Bodi Caniago. Satu suku merupakan satu kesatuan geneologis atau sekelompok orang yang berasal dari satu keturunan bertali darah. Biasanya mereka tinggal atau bermukim dalam teritorial yang sama. (Djanaid St. Maharajo et al. 2011)
Masyarakat Saniangbaka terdiri dari delapan suku, yaitu: Piliang, Sikumbang, Sumpadang, Koto, Pinyangek, Balai Mansiang, Tanjung, dan Guci. Mayoritas penduduk Saniangbaka berasal dari suku yang mempunyai arti teritorial genealogis, yang menempati pemukiman yang sama, dan memiliki garis keturunan yang bertali darah.
Suku nan salapan dibagi lagi menjadi empat jurai. Setiap suku bajurai dengan salah satu suku lainnya. Maksud jurai disini adalah saudara atau suku mitra. Suku yang bajurai akan selalu siap saling membantu, dan bekerjasama dalam hal buruk baik. Termasuk dalam penyelenggaraan upacara adat, seperti alek perkawinan, batagak penghulu, turun mandi, dll. Misalnya suku Sumpadang akan menyelenggarakan alek gadang batagak penghulu, maka ninik mamak suku Tanjuang, sebagai jurainya, akan membantu dalam mensukseskan alek tersebut, begitupun sebaliknya. Dalam bajurai berlaku prinsip:
Barek samo dipikua ringan samo dijinjiang.
Kabukik samo mandaki, kalurah samo manurun.
Kok sasakik sapadih, kok sapantang sapajatian.
Petitih tersebut menjelaskan tentang prinsip saling mambantu dalam meringankan beban jurai. Pemangku adat di Saniangbaka dinamakan dengan urang salapan suku (orang dari delapan suku). Mereka merupakan perwakilan dari suku nan salapan. Kehadiran mereka sangat dinantikan dalam setiap upacara adat.
Setiap suku mempunyai penghulu atau mamak suku. Tetapi setiap suku memiliki beberapa orang penghulu/datuk. Setiap penghulu membawahi satu orang manti, sebagai pelaksana tugas. Sedangkan malin/pandito, dan dubalang adat hanya ada 1 orang untuk setiap suku.