Manjapuik marapulai siang hari dilakukan sehari setelah hari baralek. Hal dilakukan karena, pada saat pagi/subuh hari setelah malam pertama, secara adat marapulai diwajibkan pulang ke rumah orang tuanya, karena masih menjalani berbagai tradisi adat. Penjemputan dilakukan sebelum jam makan siang.
Maksud dan Tujuan
Hal ini dilakukan karena pada hari baralek marapulai dijemput antar pada malam hari. Sarupo ayam diasak malam, indak basuluh bulan jo matohari (seperti ayam dibawa malam, pada saat bulan dan matahari tidak bercahaya). Sedangkan tujuannya adalah supaya terang betul jalan ke rumah anak daro oleh marapulai, dan untuk menjemputnya untuk makan siang.
Pelaksanaan
Marapulai dijemput oleh dua orang ibu-ibu separoh baya dari pihak keluarga anak daro. Mereka datang membawa pakaian adat marapulai menggunakan saok aia. Waktunya setelah shalat zuhur. Orang yang menjemput marapulai dinanti secara adat, atau dijamu secara patut di rumah marapulai.
Pada saat dijemput marapulai memakai pakaian adat, yang diantarkan dan dipakaikan oleh orang yang menjemput. Selama perjalanan menuju ke rumah anak daro, marapulai diiringi oleh orang yang menjemput tadi, dengan membawa pakaian pengganti.
Setiba disana tuan rumah menghidangkan makanan. Marapulai dan anak daro, serta orang yang menjemput tadi makan bersama-sama. Tidak lama setelah itu, salapeh paruik kanyang (setelah rasa kenyang reda), marapulai kembali ke rumah orang tuanya. Dalam perjalanan pulang marapulai disarankan untuk mampir ke lapau-lapau yang dilalui untuk menyirih/menawarkan rokok.
Sebelum waktu magrib marapulai kembali menuju ke rumah anak daro memakai baju kebesarannya, kali ini tidak dijemput lagi. Sebelumnya marapulai mampir dulu ke buah balai untuk mengambil pisang dan sirih lengkap yang sudah diletakkan oleh mamaknya di buah balai, untuk dibawa ke rumah anak daro.
Sesampainya di rumah anak daro, baju kebesaran diganti dengan pakaian sehari-hari yang sesuai dengan adat, untuk kemudian pergi menunaikan shalat magrib ke surau terdekat. Setelah makan malam marapulai kembali turun dari rumah, dan kembali ke rumah anak daro sekitar jam 9 malam.
Pada saat naik ke rumah marapulai tidak dibolehkan langsung masuk kamar, tapi duduk dulu ditempat duduknya semula (membelakangi kamar). Marapulai baru masuk kamar setelah dipabasoi (dipersilahkan) oleh keluarga anak daro. Etikanya, marapulai hanya sekedar mengiyakan, tapi masih tetap duduk. Setelah tiga kali dipabasoi barulah marapulai masuk kamar.
Rutinitas yang dilakukan oleh marapulai tersebut terus berlangsung selama 3 hari, sampai ditawari oleh keluarga anak daro, kira-kira dengan kalimat, bisuak pagi disiko selah mandi lai minantu (besok pagi disini saja mandi lagi menantu). Setelah itu barulah marapulai menetap di rumah tersebut sebagaimana mestinya.
Pelaksanaan
Pada hakikatnya, manjapuik marapulai siang hari adalah membiasakan marapulai menempuh jalan ke rumah istrinya. Bak kata pepatah minang, lanca kaji dek baulang, pasa jalan dek baturuik.
Selain itu proses marapulai datang untuk makan siang, dan makan malam setelah itu turun kembali ke rumah orang tuanya, dengan memakai baju gadang bertujuan untuk memberitahukan kepada khalayak ramai bahwasanya ia telah menikah dan menjadi sumando di suku istrinya.
Begitu juga dengan mampir ke lapau-lapau manyiriah rokok, dan mengambil pisang dan siriah yang disiapkan oleh mamak-nya di buah balai. Di Saniangbaka buah balai dan lapau merupakan pusat keramaian, tempat orang-orang duduk-duduk, dan maota(bercerita) tentang berbagai hal. Secara tidak langsung mamak telah memperkenalkan kepada orang ramai, bahwasanya keponakannya sudah menikah.
Di Minangkabau yang syarat dengan adat istiadat, kita diatur dengan norma-norma yang sebagian tersirat.
Hiduik dikandung adat,
mati dikandung tanah.
Kehidupan orang Minangkabau tidak terlepas dari aturan adat yang melingkupinya. Sesuai dengan falsafah orang minang, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.
Terkait dengan kenapa marapulai tidak langsung masuk ke kamar pada saat naik ke rumah malam hari, karena kamar merupakan wilayah sensitif, sebagai urang sumando, yang diibaratkan dengan abu diateh tunggua (debu yang mudah terbang), tingkah laku kita menjadi sorotan bagi sipangka. Baik buruk sikap dan perilaku kita imbasnya adalah kepada mamak dan nama besar kaum yang kita sandang.
Termasuk dalam memahami kiasan kata-kata. Tawaran yang dipabasoan oleh orang lain, terkadang hanya sekedar basa-basi. Ketika sudah disampaikan berulangkali disitulah nampak keseriusannya.
Adat manjapuik marapulai siang hari, sampai saat ini masih dijalankan di Saniangbaka, tetapi sebagian sudah banyak yang disederhanakan. Marapulai manyiriah ka lapau, sekembali dari rumah anak daro, sudah jarang dilakukan. Bagitu juga dengan mengambail pisang di buah balai.
Bahkan saat ini, banyak marapulai yang kembali ke rumah anak daro menenteng pisang dan pisang dengan berboncengan menggunakan sepeda motor. Hal ini sangat memprihatinkan, celakanya mamak-nya justru melakukan pembiaran. Hal tersebut menunjukkan pelecehan terhadap adat (Akhyar Rangkayo Batuah).