Secara umum pondasi adat di Minangkabau merupakan ajaran dari kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago, yang diwariskan oleh Datuk Katumanggungan, dan Datuk Parpatih Nan Sabatang. Secara turun temurun adat tersebut dipakai oleh seluruh nagari yang ada di Minangkabau sampai dengan saat ini. (Zainuddin 2016)
Adat dalam suatu nagari disusun oleh kesepakatan masyarakat adat dalam nagari/ninik mamak yang dikoordinasikan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) untuk dilaksanakan oleh anak nagari.
Adat lamo pusako usang, usang-usang dibarui. Ungkapan tersebut menyiratkan bahwasanya adat yang lama bisa diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman, dengan tetap berpedoman kepada aturan adat yang berlaku umum di Minangkabau. Setiap nagari mempunyai adat tersendiri yang merupakan hasil kesepakatan pemangku adat dalam nagari, yaitu: Kerapatan Adat Nagari (KAN). Adat dalam sebuah nagari disebut juga dengan adat salingka nagari. Hal tersebut menjadikan adat di setiap nagari berbeda-beda, atau mempunyai ciri khas tersendiri. Begitu juga dengan Saniangbaka, yang kaya akan tradisi adat, seperti alek perkawinan, turun mandi, latur, manaik-an rumah, kematian dll.
Pada zaman dulu, khusus alek perkawinan saja, ada puluhan tradisi ada yang harus dijalani oleh pengantin di Saniangbaka, mulai dari manakuk hari, mambuek ambu-ambu, manyiriah, mamintak izin, maantaan nasi pamanggia, maantaan kain pambali, alek kenduri, manjalang dll. Selama setahun pengantin baru masih tetap menjalan tradisi adat, terutama di hari baik dan bulan baik, seperti Maulud Nabi, memasuki bulan ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan hari raya Idul Adha. Sebagian dari tradisi adat tersebut masih dijalankan sampai sekarang.