Kalau diterjemahkan kata per kata, maantaan berarti menghantarkan. Sedangkan pamanggia adalah pemanggil atau penyeru. Secara makna maantaan nasi pamanggia adalah tradisi menghantarkan seserahan dari keluarga ayah (induk bako) ke rumah pengantin perempuan (anak daro).
Maksud dan Tujuan
Tradisi ini merupakan wujud rasa memiliki dan tanggung jawab dari keluarga ayah terhadap anak piusang-nya. Selain itu barang-barang yang dihantarkan bisa membantu dalam meringankan beban baralek keluarga besannya, dan merupakan penerapan falsafah barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang.
Pelaksanaan
Maantaan nasi pamanggia dilaksanakan sehari sebelum baralek. Diantarkan oleh ibu-ibu dari urang rumah induk bako. Merupakan kewajiban adat yang sudah dilaksanakan secara turun temurun. Nasi pamanggia yang dibawa terdiri dari: ayam, pisang, kelapa, beras, dan beras pulut, serta kain panjang yang banyaknya menurut kesanggupan dari keluarga induk bako. Semuanya itu dimasukkan kedalam beberapa buah saok aia pandan, penutup talam warna-warni berbentuk segi tiga bulat. Dibawa ke rumah anak daro dengan cara dijunjung di atas kepala.
Pengantar terdiri dari keluarga pasumandan(dari pihak ayah) dan urang sapasukuan-nya, yang secara beriringan datang ke rumah anak daro. Jumlah rombongan yang datang hendaknya disesuaikan dengan kemampuan anak pisang, jangan sampai memberatkan tuan rumah. Dalam adat diistilahkan dengan:
Nan dapek malu ka mamangkua pangkua balabih.
Kok kamakan pinggan kurang.
Maksudnya jangan sampai orang yang datang lebih banyak dari jamuan yang disuguhkan. Selain itu pakaian juga diatur menurut adat, berbaju kurung, bakodek basalendang atau berkerudung (Dartukni Mandi Panduko Rajo).
Makna dan Sejarah
Sejatinya kekuasaan mamak terhadap kemenakan di Minangkabau seolah-olah tanpa batas. Tanggung jawab mamak sudah dimulai dari mendidik sejak kecil, mencarikan jodoh, sampai berumah tangga. Biaya untuk kelangsungan hidup kemenakan menjadi tanggung jawab mamak, yang diambilkan dari harta pusako tinggi (Yaswirman, 2016: 172).
Ayah diibaratkan sebagai abu diateh tunggua, yang bisa dengan mudah datang dan pergi kapan saja. Maantaan nasi pamanggia merupakan wujud tanggung jawab keluarga ayah (bako) terhadap anak pisang-nya yang akan menikah. Dengan harapan hantaran yang diserahkan bisa dijadikan sebagai tambahan untuk bahan masakan, dan membantu meringankan beban keluarga anak daro dalam memikul biaya baralek.
Dulu nasi pamanggia hanya dihantarkan pada malam sebelum hari baralek. Seiring berjalannya waktu, kemudian entah kapan dimulainya berubah menjadi siang hari, sebelum atau sesudah shalat Ashar.
Pengantarnya dulu hanya keluarga terdekat dari induk bako. Tetapi saat ini karib kerabat lain sudah banyak yang ikut dalam mengantarkannya. Sebagian masyarakat sudah menganggap kegiatan ini sebagai sebuah hiburan. Sehingga terkadang sudah memberatkan bagi keluarga anak daro dalam menjamu mereka yang datang.
Hantaran yang dibawa saat ini-pun tidak selengkap pada zaman dulu. Terkadang yang dibawa hanya beras, kelapa, dan kain. Bagi sebagian mereka yang baralek di luar Saniangbaka atau dirantau, adat maantaan nasi pamanggia masih tetap dijalankan. Tapi tidak selengkap dikampuang. Mereka yang datang hanya membawa beras, tapi jumlahnya tentu jauh lebih banyak. Ada juga yang memberikan bantuan berupa uang.